Ketidaktegasan aparat juga memicu konflik sosial.
“Saya menghitung ada 15 kali terjadi konflik sosial yang besar sejak Indonesia merdeka, 10 dari konflik itu karena ketidakadilan,” kata Jusuf Kalla saat berbagi pengalaman dalam menyelesaikan konflik seperti di Aceh dan Poso pada Konferensi Nasional Kearifan Lokal di Jakarta, Kamis (29/8/13).
Pada acara yang dibuka Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri tersebut, pria yang akrab disapa JK itu mencontohkan konflik sosial yang melanda masyarakat Aceh, Poso dan Ambon bukan berakar pada masalah agama. “Penyebabnya ketidakadilan. Karena itu, untuk penyelesainnya ya pemerintah harus adil.”
Selain itu, konflik yang terjadi tidak selalu bisa diselesaikan dengan kearifan lokal, tergantung apa sebabnya. Misalnya konflik di Kalimantan yang terpicu masalah sosiologi orang atau di Poso. “Itu tidak bisa diselesaikan dengan adat.”
Masalah agama, menurut Ketua Umum Palang Merah Indonesia itu, adalah konflik yang paling susah dihentikan, karena tidak ada yang netral. Semua berpihak, sehingga susah selesai. Maka, penyelesaiannya secara sederhana yaitu lewat agama juga.
Saat ini konflik lebih cepat terjadi karena faktor kemajuan teknologi. Contohnya konflik akibat menyebarkan pesan singkat (SMS), sehingga dua daerah saling menyerang. “Jadi teknologi juga mempercepat konflik, karena itu untuk menangkalnya tidak bisa rapat adat dulu. Masak sudah habis orang meninggal baru ditangkal.”
Konflik sosial juga terjadi karena ketidaktegasan, seperti akibat pilkada yang mengakibatkan kantor bupati dibakar, tetapi pelakunya tidak ditangkap. Ketidaktegasan itu menjadi preseden buruk, karena orang bisa beranggapan melakukan tindakan yang merusak tidak ditindak tegas, sehingga semakin mudah terjadi konflik.
“Karenanya, kearifan lokal penting untuk menjaga harmoni supaya tidak terjadi konflik. Kalau sudah terjadi konflik, maka penyelesaiannya tergantung sebabnya. Jika dipicu masalah ekonomi, selesaikan dengan cara ekonomi, kalau politik dengan politik,” kata JK.(win10)